Menyemai Keikhlasan di Musholla Amal Ikhlas: Reuni Sahabat Pendidik yang Menghidupkan Nilai dalam Pengabdian


 

BATAM, 29 Juli 2025 — Di tengah deru kesibukan dan dinamika kehidupan kota, ada ruang-ruang sunyi yang menyimpan pertemuan penuh makna. Salah satunya adalah Musholla Amal Ikhlas, sebuah tempat ibadah sederhana di lingkungan Kementerian Agama Kota Batam yang siang itu menjadi saksi perjumpaan dua sahabat lama: Dr. Nursalim Tinggi Turatea, S.Pd., M.Pd. dan Hasnul Amri, guru Pendidikan Agama Islam di SMP Negeri 25 Batam.

Pertemuan yang berlangsung pukul 13.00 WIB itu bukanlah pertemuan biasa. Ia seperti untaian mozaik yang merekatkan kembali kisah perjuangan dua insan pendidikan, yang meski berbeda jalan, tetap berjalan dengan ruh yang sama: keikhlasan dalam mengabdi dan tekad untuk mencerdaskan anak bangsa.

Hasnul Amri memulai kisahnya sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 2006 dengan penempatan pertama di SMP Negeri 24 Pulau Abang—sebuah wilayah pesisir yang jauh dari pusat kota, penuh tantangan, namun kaya akan pelajaran hidup. Di tempat itulah ia ditempa menjadi guru tangguh yang tak hanya mengajar, tetapi juga merangkul dan membimbing dengan hati. Tiga tahun kemudian, ia dipindahtugaskan ke SMP Negeri 25 Batam, tempat ia terus mengabdi hingga kini. Dalam kesehariannya, Hasnul dikenal sebagai pribadi yang teduh dan bersahaja, seorang guru yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menyentuh jiwa murid-muridnya melalui pendekatan spiritual yang hangat.

Sementara itu, Dr. Nursalim Tinggi Turatea adalah akademisi, penulis, dan penggerak literasi yang telah banyak mewarnai dunia pendidikan di Kepulauan Riau. Sebagai dosen dan peneliti, ia tak henti menyuarakan pentingnya integritas dan karakter dalam dunia pendidikan. Ia datang ke Musholla Amal Ikhlas bersama Hartaman Sari, seorang guru inspiratif dari SMP Negeri 37 Batam yang juga sahabat seperjuangan dalam gerakan literasi dan pendidikan karakter.

Percakapan mereka siang itu mengalir dalam keakraban yang hangat—mengenang masa lalu, mengulas tantangan guru masa kini, dan membahas cita-cita besar pendidikan ke depan. Hasnul pun sempat berbagi tentang keluarganya: istrinya Rini, serta dua buah hati mereka, Syifa yang kini belajar di Pondok Pesantren Terpadu Iman Syafei dan Afifah yang menimba ilmu di Madrasah Aliyah Had Annajiah Nongsa. Ia menyebut bahwa keluarga adalah mata air semangat dalam menjalani profesinya. “Tanpa dukungan keluarga, sulit rasanya menjaga ritme pengabdian,” ujarnya pelan, namun penuh makna.

Namun di atas segalanya, Hasnul menekankan satu nilai yang tak tergantikan dalam profesi guru: keikhlasan. “Kalau hanya sekadar menjalankan tugas, banyak yang bisa. Tapi kalau mau mendidik sepenuh hati, maka keikhlasan harus jadi fondasi,” ujarnya. Pandangan ini disambut dengan hangat oleh Dr. Nursalim yang menambahkan, “Guru bukan sekadar pengajar. Ia pembentuk peradaban, penjaga akhlak generasi. Tanpa keikhlasan, peradaban kehilangan arah.”

Pertemuan itu pun tak sekadar nostalgia. Ia menjadi refleksi mendalam tentang makna sejati seorang guru—bahwa tugas mendidik adalah tugas membangun masa depan, bukan sekadar mengajar hari ini. Dalam ruang kecil Musholla Amal Ikhlas, ketiganya seolah menulis ulang komitmen mereka sebagai pendidik sejati, dengan tinta keimanan, pena keikhlasan, dan kertas perjuangan.

Di tengah gelombang modernisasi dan tantangan profesi, momen seperti inilah yang menjadi pengingat bahwa guru bukan hanya mesin akademik. Mereka adalah manusia yang hidup dalam nilai, bergerak dalam pengabdian, dan bercita-cita demi kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak bangsa.

Silaturahmi di Musholla Amal Ikhlas menjadi catatan penting bahwa dalam pendidikan, perjumpaan bukan hanya soal fisik. Ia adalah tentang menyambung ruh perjuangan dan menyemai harapan baru—bahwa selama masih ada guru yang mengajar dengan hati, masa depan negeri ini masih menyimpan cahaya.(Yanti)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama