Polemik Lelang Gurindam 12: Antara Janji DPRD dan Minimnya Respons Pemprov


Tanjungpinang – Polemik rencana pelelangan kawasan Taman Gurindam 12 kembali menyeruak ke permukaan dan semakin memanas. Harapan masyarakat agar rapat dengar pendapat (RDP) antara DPRD Provinsi Kepulauan Riau, sejumlah OPD terkait, dan aliansi masyarakat sipil menghasilkan jalan keluar yang konkret ternyata berakhir mengecewakan.


RDP yang digelar pada 23 September 2025 menghadirkan jajaran OPD strategis, mulai dari Kepala Dinas PUPR, Kepala Dinas Pariwisata, Kepala Satpol PP, hingga Kabid BKAD. Dari unsur legislatif hadir anggota DPRD Dapil Tanjungpinang seperti Tedi Jun, Rudi, Clara, Bobby Jayanto, serta Ketua Komisi II, Drs. Khazalik. Dari kalangan masyarakat, forum tersebut dihadiri Aliansi Gerakan Bersama Kepri (GEBER-KEPRI), perwakilan pedagang Gurindam 12, majelis keagamaan, organisasi pemuda, mahasiswa, tokoh agama, hingga masyarakat umum yang mengikuti jalannya rapat dengan penuh perhatian.


Meski diwarnai berbagai pandangan kritis, forum yang semestinya menjadi ajang penyelesaian justru dinilai hanya sebatas seremonial. Kehadiran Gubernur Kepri yang diharapkan masyarakat untuk memberikan kepastian tidak pernah terwujud. Alih-alih menghadirkan keputusan tegas, rapat hanya berakhir dengan penandatanganan berita acara berupa penundaan sementara pelelangan Gurindam 12 oleh Ketua DPRD Kepri, Iman Setiawan, SE. DPRD pun berjanji akan segera berkoordinasi dengan Gubernur terkait hasil kesepakatan itu.


Namun janji tersebut tidak kunjung memiliki wujud konkret. Hingga 26 September 2025, atau lebih dari 48 jam setelah rapat, GEBER-KEPRI maupun unsur masyarakat tidak menerima salinan resmi, surat pemberitahuan, ataupun bentuk komunikasi lain yang menunjukkan keseriusan tindak lanjut Pemprov terhadap kesepakatan penundaan lelang. Kekosongan ini menimbulkan kekecewaan mendalam sekaligus memperkuat persepsi bahwa hasil RDP hanya permainan politik yang bersifat “main-main”.


Sejumlah tokoh yang hadir menilai ketiadaan tindak lanjut memperlihatkan lemahnya peran DPRD dalam meyakinkan eksekutif. Hal itu menjadi cerminan defisit kepercayaan publik terhadap proses politik daerah. Ketua Pedagang Gurindam 12 bersama perwakilan organisasi masyarakat, mahasiswa, dan elemen lainnya menegaskan bahwa apabila pemerintah tetap mengabaikan tuntutan rakyat, maka aksi demonstrasi yang lebih besar akan digelar pada Rabu mendatang.


Tuntutan yang disuarakan tetap konsisten sejak awal: pelelangan Gurindam 12 harus dihentikan, legal standing pembangunan gedung LAM. Dekranasda harus dibuktikan secara konkret, serta penempatan UMKM harus dijamin di lokasi yang layak. Para pedagang menuntut ruang usaha yang bebas dari debu, tidak becek ketika hujan, serta dilengkapi dengan infrastruktur dasar yang memadai. Komitmen DPRD mengenai penataan kawasan Tanah Kuning atau Tujuh Langit yang disampaikan dalam kunjungan lapangan 24 September 2025 juga kembali dipertanyakan realisasinya.


Pakar otonomi daerah menilai bahwa kaburnya hasil RDP merupakan bukti lemahnya koordinasi antara legislatif dan eksekutif. Menurutnya, RDP seharusnya menghasilkan keputusan politik yang mengikat. Jika hasilnya hanya berupa dokumen DPRD tanpa dukungan eksekutif, maka nilainya sebatas moral, bukan administratif. Kondisi ini yang akhirnya memunculkan keraguan publik terhadap keseriusan pemerintah daerah.


Sementara itu, pengamat tata kelola pemerintahan mengingatkan bahwa transparansi adalah kunci untuk meredakan polemik. Aliansi masyarakat memiliki hak penuh untuk mendapatkan salinan resmi hasil rapat. Jika Pemprov terus menutup diri dan mengulur waktu, potensi konflik sosial di tingkat akar rumput akan semakin besar dan sulit dikendalikan.


Melihat eskalasi yang terus berkembang, koordinator aksi Andi Rio Framantdha menegaskan perlunya langkah strategis. Menurutnya, Gubernur Kepri harus segera turun tangan langsung memimpin dialog dan memberikan kepastian hukum. DPRD juga dituntut agar mengawal hasil RDP melalui instrumen politik yang formal, bukan sebatas tanda tangan simbolis. Lebih jauh, ruang publik Gurindam 12 harus dijamin tetap menjadi milik masyarakat, bukan dijadikan komoditas bisnis yang menguntungkan segelintir pihak.


Apabila langkah-langkah ini tidak segera ditempuh, maka polemik Gurindam 12 bukan hanya akan menjadi konflik lokal semata, melainkan berpotensi berkembang menjadi krisis kepercayaan publik yang lebih serius. Krisis itu tidak hanya akan menggerus legitimasi Pemerintah Provinsi Kepri, tetapi juga mencoreng marwah DPRD sebagai representasi rakyat."redaksi

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama